Senin, 15 Februari 2010

Valentine Day.....


Pada bulan ini berbagai macam rencana harus kita persiapkan. Namun pada bulan ini juga terdapat hari dimana banyak kaum muda-mudi yang hendak merayakan atau menyemarakan Hari Valentine. Nah dari sini sebenarnya bolehkah kita mempersiapkan atau bahkan merayakan hari Valentine tersebut…?Bagaimanakah sikap kita sebagai seorang muslim dalam menghadapi acara tersebut atau yang semisalnya…?

Sebelum kita lebih jauh membahas tentang valentine, mari kita telusuri terlebih dahulu tentang sejarah valentine itu sendiri. Jangan sampai kita ikut-ikutan dalam acara tersebut tanpa mengetahui hal yang sebenarnya mengenai Valentine itu sendiri.

Berikut adalah cuplikan sejarah mengenai Hari Valentine yang banyak orang rayakan setiap tanggal 14 Februari.

Sejarah Valentine

(World Book Encyclopedia : 1998) Valentine adalah nama seseorang pemimpin agama Katolik yang telah dianggap menjadi martir (Islam : Syuhada) oleh orang-orang Kristen (katolik) dan Valentine telah diberi gelar sebagai orang suci (Santo) oleh orang-orang Kristen.

Kisahnya bermula ketika raja Claudius II (268 – 270 M) mempunyai kebijakan yang melarang prajurit-prajurit-nya untuk menikah. Menurut raja Claudius II, bahwa dengan tidak menikah maka para prajurit akan agresif dan potensial dalam berperang.

Kebijakan ini ditentang oleh Santo Valentine dan Santo Marius, mereka berdua secara diam-diam tetap menikahkan para parujurit dan muda-mudi, lama-kelamaan tindakan mereka diketahui oleh raja Claudius, sang rajapun marah dan memutuskan untuk memberikan sangsi kepada Valentine dan santo Marius yaitu berupa hukuman mati.

Sebelum dihukum mati, Santo Valentine dan Santo Marius dipenjarakan dahulu, dalam penjara Valentine berkenalan dengan seorang gadis anak sipir penjara, kemudian gadis ini setia menjenguk valentine hingga menjelang kematian Valentine. Sebelum Valentine dihukum mati, Valentine masih sempat menulis pesan kepada gadis kenalannya, yang isinya :
‘ From Your Valentine ‘

Setelah kematian Santo Valentine dan Santo Marius, orang-orang selalu mengingat kedua santo tersebut dan merayakannya sebagai bentuk ekspresi cinta kasih Valentine, dua-ratus tahun kemudian yaitu tahun 496 Masehi setelah kematian Santo Valentine dan Santo Marius, Paus Galasius meresmikan tanggal 14 Pebruari 496 sebagai hari Velentine.

Itulah sejarah hari Valentine yang ternyata untuk mengenang dan memperingati dua orang suci Kristen Katolik yang mengorbankan jiwanya demi kasih sayang.

Ada versi lain tentang sejarah Valentine, yaitu pada masa Romawi Kuno, tanggal 14 Pebruari merupakan hari raya untuk memperingati dewi Juno, dewi Juno adalah ratu dari segala dewa dan dewi, orang-orang Romawi kuno juga meyakini bahwa dewi Juno adalah dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan ?dewi cinta.

Pada tanggal 14 Pebruari orang-orang Romawi kuno mengadakan perayaan untuk memperingati Dewi Juno dengan cara memisahkan kaum laki-laki dan perempuan. Nama-nama remaja perempuan ditulis pada potongan kertas lalu digulung dan dimasukkan ke dalam botol, setelah itu para laki-laki mengambil satu kertas sebagai, setiap laki-laki akan mendapatkan pasangan sesuai nama yang didapat dalam undian tersebut, bila kemudian mereka ada kecocokan maka mereka akan melangsungkan pernikahan dihari-hari berikutnya

PANDANGAN ISLAM TENTANG VALENTINE

Dari uraian sejarah Valentine dan hubungannya dengan peradaban Barat saat ini dapat diringkas bahwa Valentine merupakan :
Ritual yang bersumber dari Kristen yang dikukuhkan oleh Paus Galasius untuk mengenang orang suci Kristen yaitu Santo Valentine dan Santo Marius.
Ritual orang-orang Romawi kuno yang pagan (penyembah berhala) untuk memperingati dewi Juno yaitu ratu dari segala dewa-dewi bagi perempuan dan perkawinan ( dewi cinta).
Ritual bangsa Eropa pada abad pertengahan untuk mencari jodoh.
Media Barat untuk mengkokohkan cengkraman peradaban Barat.,

Dari keempat jatidiri Valentine tersebut, tidak satupun yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, alasannya :

Pertama, Valentine merupakan ritual keagamaan yaitu agama Kristen, sehingga Valentine merupakan ibadah bagi agama Kristen, bukti bahwa Valentine sebagai ritual agama Kristen adalah ritual Valentine tersebut dikukuhkan oleh seorang Paus yaitu Paus Galasius untuk memperingati dua orang yang diberi gelar orang suci oleh orang-orang Kristen. Bagi Muslim mengikuti Valentine tersebut adalah sama dengan mengikuti peribadatan orang Kristen, di samping itu ada bahaya yang lain yaitu sinkretisasi antara agama Islam dan Kristen, Allah I telah memerintahkan kita untuk tidak mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama manapun termasuk Kristen :
Bagimu agamamu, bagiku agamaku. QS. 109:1-6

Kedua, Valentine untuk memperingati/memuja dewi Juno adalah ritual yang dilakukan oleh orang-orang romawi Kuno yang menyembah berhala/dewa, sehingga mengikuti ritual ini dapat bernilai kesyirikan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Romawi Kuno yang menyembah berhala.
Bedakan diri kalian dari orang-orang Musyrik. HR. Bukhari-Muslim

Ketiga, Valentine sebagai sarana untuk mencari jodoh oleh orang-orang Eropa, mereka bertahayul bahwa kasih sayang akan mulai bersemi pada tanggal 14 Pebruari, tahayul adalah salah satu bentuk kesyirikan, sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk mengikutinya.

Keempat, Valentine sebagai media barat telah diakui daya rusaknya terhadap tatanan masyarakat timur apalagi Islam, mengiktui Valentine bukan saja sekedar pesta untuk menyatakan kasih sayang, tetapi juga pesta yang mau-tidak-mau harus mengikutkan budaya yang lainnya, pergaulan bebas, fashion, pakaian minim, ciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya, hidup glamour, materialistis, dansa-dansa, mengumbar nafsu dan lain-lain.
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, ia akan termasuk golongan mereka. HR. Ahmad

Tidak dapat dipungkiri lagi, Valentine adalah salah satu pintu masuk untuk menjadi sama dengan mereka.

Itulah jatidiri Valentine dan kedudukannya terhadap agama Islam, banyak para muda-mudi yang mengikuti Valentine hanya sekedar ikut-ikutan dan tidak mengetahui apa dan bagaimana Valentine yang sesungguhnya, mereka ikut hanya karena pernah melihat ada yang jualan kartu Valentine atau menerima kartu valentine, atau karena pernah diajak temannya ikut acara Valentine, atau karena pernah melihat propaganda Valentine di majalah-majalah, tv, film dan lain sebagainya, terhadap sikap para muda-mudi yang mengikut saja terhadap apa yang tidak diketahuinya.

dicuplik dari sebuah blog
Selengkapnya...

Kamis, 28 Januari 2010

Bantahan terhadap Majalah Sabili


Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuhu. Telah banyak sms seperti diatas yang dilayangkan ke meja Redaksi. Kesemuanya meminta kepada kami untuk membuat semacam jawaban atau bantahan atas tulisan yang dimuat di majalah tersebut. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Redaksi memutuskan untuk memberikan tanggapan sekaligus bantahan. Insya Allah jawaban yang ditulis oleh Ustadz Abdurrahman Thoyyib, Lc ini memuaskan dan sangat mencukupi. Sidang pembaca harus membacanya dengan seksama.


Perlu untuk kita ketahui disini, bahwasanya sudah merupakan ketetapan Allah ta’ala adanya musuh penentang dakwah para Nabi. Dakwah mereka dibenci, dimusuhi, bahkan sampai diperangi. Demikianlah kira-kira yang telah dialami oleh para Nabi terdahulu yang merupakan sebaik-baik manusia. Maka, sangat wajar sekali bila para ulama’ sebagai perwaris para Nabi, demikian pula para pengemban dakwah yang Haq ini terus digunjing, dihujat, dihasadi, difitnah, dst.


Dalam perumpamaan orang arab disebutkan :






“Biarkan anjing menggonggong, Kafilah tetap berlalu.”




Kebenaran adalah kebenaran meskipun tidak semua orang dapat melihatnya. Dan kebathilan adalah kebathilan meskipun tampak bagi mayoritas manusia. Adapun tugas kita, memohon kepada Allah agar kita diperlihatkan yang benar itu benar dan yang bathil itu bathil. Wallahul Musta’an



SALAFI vs SABILI


Oleh Ustadz Abu ‘Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafy, Lc




Lidah memang tak bertulang, sehingga banyak manusia yang berbicara tanpa ilmu, menuduh tanpa dalil dan menulis serta memvonis tanpa berpikir. Itulah Majalah Sabili, pada edisi no.10 tahun XVII desember 2009/23 Dzulhijjah 1430 Sabili memuat beberapa artikel yang berisikan celaan dan tuduhan dusta kepada Dakwah Salafiyyah yang mubarokah ini dan sekaligus berisikan pembelaan terhadap kebathilan dan para pengikutnya. Allah -عزّ و جل- berfirman :








“Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan kecuali dusta”. (QS.al-Kahf:5)


Maka dengan memohon taufiq dan pertolongan-Nya kami akan berusaha untuk menyingkap sebagian kedustaan dan kebathilannya.








“Agar orang yang binasa itu binasanya karena keterangan yang nyata dan agar orang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula”. (QS.al-Anfaal:42)


Dan diantara penulis artikel tersebut adalah oknum yang belum bertaubat dan belum sadar akan kesesatan serta kejahilannya yang pernah kita bantah dahulu pada edisi 20 (Majalah Aaz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah) Yaitu Kyai Al-Jaidi (Majalah Mabadi’ edisi 4 tahun 2/2006). Mari kita simak kerancuan, kebodohan dan kebathilan sang Kyai serta Sabili :


1. Kebodohan Sang Kyai tentang Dakwah Salafiyah


Dia Mengatakan (hal.20) :”Kelompok yang mengkalim bernama salafi muncul sekitar tahun 1986″.


Perlu diketahui bersama bahwa Salafiyah bukanlah suatu gerakan/partai/golongan yang serupa dengan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau Jama’ah Tabligh atau NII yang didirikan beberapa puluh tahun yang lalu oleh pemimpin-pemimpin besarnya seperti Hasan Al-Banna, Taqiyuddin An-Nabhani, Muhammad Illyas dan Kartosuwiryo. Dakwah Salafiyah adalah nisbah/menisbatkan diri kepada manhaj/metode salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan bukan aliran baru dalam Islam.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -رحمه الله- berkata :








“Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib untuk menerima hal tersebut menurut kesepakatan, karena tidaklah madzhab salaf itu kecuali benar” [Majmu' Fatawa 4/149].


Salafiyah adalah silsilah dakwah para salaf, pemegang tongkat estafet dakwah mereka. Salafiyah selalu berusaha mewujudkan sabda Nabi -صلى الله عليه و سلم- dalam hadits Firqotun Najiyah :








“Yang mengikuti aku dan para sahabatku” (HR.Tirmidzi dengan sanad yang hasan)


Salafiyah merupakan perwujudan dari anjuran ulama salaf, diantaranya Imam Al-’Auzai -رحمه الله- yang berkata :








“Bersabarlah diatas sunnah, berhentilah kemana (para salaf) berhenti, katakan dengan apa yang mereka katakan dan cegahlah dari apa yang mereka cegah. Telusurilah jejak salafush sholeh karena akan mencukupimu apa yang mencukupi mereka”. (“Asy-Syari’ah ” oleh Al-Ajury” hal 58)


Lebih dari itu Salafiyah adalah pengikut setia para salaf yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya :








“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS At-Taubah 100)


Manhaj Salaf (dakwah Salafiyah) adalah manhaj yang benar karena dia berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman para salafush sholeh. Inilah yang harus kita katakan seperti yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -رحمه الله- diatas. Adapun pribadi orang yang menisbatkan kepada manhaj ini maka kita katakan :








“Setiap manusia itu pernah bersalah dan sebaikbaiknya orang yang salah adalah yang bertaubat”(HSR.Ibnu Majah)


Dan kita katakan seperti yang dikatakan oleh Imam Malik -رحمه الله- : “Tidak ada seorangpun setelah Nabi -صلى الله عليه و سلم- melainkan diambil ucapannya atau ditolak”.


2. Kebodohan sang Kyai terhadap fakta



Dia mengatakan (hal.20) : “Maka, perbedaan yang ada sejak 1800-an, 1900-an adalah bersifat khilafiyah yang bukan bersifat ushul atau perbedaan pada cabang saja…”.


Ternyata sang Kyai buta akan fakta dan sejarah yang ada. Ataukah sang Kyai masih dalam alam mimpi dan dunia khayalan?! ataukah sang Kyai jahil tentang makna ushul atau cabang agama ?. Umat berpecah belah dan berbeda bukan dalam masalah cabang saja sejak sepeninggal Rasul hingga sekarang dan sampai akhir zaman nanti. Pada tahun 1800-an, 1900-an apakah tidak ada umat yang menyembah kuburan, meminta atau bertawassul kepada wali-wali yang telah mati? Wahai pak Kyai, apakah ini masalah cabang ataukah ushul ? Tidakkah ada diantara umat yang berbuat Bid’ah pada waktu itu ? Tidakkah anda membaca kitab-kitab pendiri kalian (Syaikh Ahmad Surkati) yang sangat keras dan tegas terhadap masalah syirik dan bid’ah, seperti tahlilan, talqin diatas kubur dan lain-lain?”(1) Sungguh jauh sikap kalian yang amat plin-plan dengan sikap pendiri kalian, apalagi sikap ulama salaf.


Pak Kyai mengatakan (hal.25) : “Yang sekolah di Madinah, ketika pulang masih bersedia ikut maulid dan tahlil.”


Darimana pak Kyai membuat kesimpulan seperti itu?! Sedangkan saya dan teman-teman yang -alhamdulillah- lulusan Universitas Islam Madinah sangat benci kepada acara-acara Bid’ah tersebut. Kalau bicara dipikir dulu, pak Kyai? Jangan Asbun (Asal bunyi).


3. Kebodohan sang Kyai terhadap makna Sunnah.



Pak Kyai berkata (hal.20) : “Sehingga mereka selalu mengatakan ihya sunnah. Bukannya tidak baik, bagaimana kita menghidupkan sunnah Rasulullah . Tetapi banyak kewajiban yang kita lupakan, misalnya perintah Allah agar bersaudara, saling menghormati, memberikan salam. Ini semua perintah Allah untuk menyambung silaturahim, bukan hanya sunnah.”


Ketika Dakwah Salafiyah mengatakan “Ihya Sunnah” itu maksudnya menghidupkan kembali metode hidup Rasulullah baik yang hukumnya wajib atau mustahab. Karena kata-kata “as-Sunnah” jika di mutlakkan bisa berarti 4 makna :


[a]. Segala sesuatu yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

[b]. Sinonim “al-Hadits”, jika digandengkan dengan kata-kata “al-Qur’an”.

[c]. Antonim Bid’ah.

[d]. Mustahab (Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa).”(2)


4. Kebodohan pak Kyai tentang makna hadits



Pak Kyai mengatakan : “…Sebabnya hanya masalah khilafiyah seperti tidak pakai jenggot, isbal, tidak ada dua titik hitam di kening. Orang yang seperti ini dianggap bukan ikhwan mereka. Padahal Nabi mengatakan, Allah tidak melihat pada penampilan kamu, rupa kamu, tapi Allah melihat pada hati kamu dan amal shalih kamu. Ini yang seharusnya menjadi acuan kita.”


Adapun masalah jenggot maka Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- bersabda :








“Tipiskan kumis-kumis dan panjangkan jenggot-jenggot, selisihilah kaum Majusi.” (HR. Muslim)


Dan tentang isbal maka beliau -صلى الله عليه و سلم- bersabda :








“Apa yang turun dari kain sarung (yang menutupi) kedua mata kaki maka tempatnya di Neraka” (HR. Bukhari)


Ini bagi yang tidak sombong ancamannya neraka, adapun yang sombong maka Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- bersabda :








“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kain sarungnya (hingga menutupi mata kaki) dengan sombong pada hari kiamat” (HR.Bukhari dan Muslim)


Bahkan al-Khalifah ar-Raasyid, Amiirul Mu’miniin Umar bin Khattab -رضي الله عنه-ketika dalam keadaan kritis setelah ditusuk oleh Abu Lu’lu’ al-Najusi, beliau masih menyempatkan diri untuk menasehati seorang pemuda yang datang kepada beliau dengan pakaian yang sampaii menyentuh tanah :


“Wahai Anak saudaraku, angkat pakaianmu, karena itu lebih bersih untuk pakaianmu dan lebih bertaqwa kepada Rabbmu” (HR.Bukhari)


Inilah diantara sunnah Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- yang selalu dihidupkan oleh Dakwah Salafiyah dan ingin dimatikan oleh sebagian orang-orang jahil dengan alasan khilafiyah. Dan lebih parah lagi Pak Kyai berdalil dengan hadits yang sebetulnya merupakan boomerang baginya. Karena hadits tersebut menyebutkan : “…tapi Allah melihat pada hati kamu dan amal shalih kamu”. Di antara amal shalih adalah mengikuti perintah Rasululllah -صلى الله عليه و سلم- (memelihara jenggot dan menaikkan kain sarung atau celana di atas mata kaki) Tapi itulah kebodohan yang membuat pelakuanya terkadang tidak sadar akan kebodohannya.


Kalau hadits ini bisa dijadikan dalil bagi yang tidak berjenggot dan isbal, maka bagaimana menurut pak Kyai jika ada wanita tidak berjilbab atau laki-laki yang telanjang bulat berdalil dengannya?! Kalau pak Kyai belum bisa mengamalkan perintah Rasulullah ini, maka perbanyaklah istighfar dan berusaha untuk menjalankannya. Jangan banyak alasan, nanti semakin ketahuan kebodohan pak Kyai dan malah bertumpuk dosa karena melegalkan kesalahan serta mengotak-atik dalil bukan pada tempatnya.


Kalau salafi menganggap yang tidak berjenggot itu bukan ikhwan mereka, mungkin itu ada benarnya juga. Karena yang namanya ikhwan (kaum pria) itu cirinya kan berjenggot ?! Kalau akhwat (kaum wanita) tentu nggak berjenggot, demikian pula banci.(3)


Adapun masalah dua titik di kening, darimana pak Kyai dapatkan? Coba di majalah atau buku salafi yang mana ?


5. Kontradiksi dalam ucapan pak Kyai



Pak Kyai berkata (hal.20) : “Sesungguhnya dulu tidak ada pemahaman salafi, yang ada hanya empat madzhab imam bin Hambal, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi.”


Sedangkan sebelumnya pak Kyai mengatakan: “Jadi, nama Salafi hanya menjadi nama sekolah atau buku-buku yang ditulis para imam terdahulu yang sangat menjiwai pemahaman para salafushalih”. Dan di hal.(51) pak Kyai mengatakan: “Sepanjang pengamatan saya, kelompok salafi ini mengadopsi secara utuh madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.”


Beginilah keadaan orang tidak paham akan apa yang dia katakan.


6. Tuduhan Dusta dan Prasangka-prasangka buruk sang Kyai.



Pak Kyai mengatakan hal.(22): “Karenanya, saya menduga bahwa gerakan ini memiliki kaitan dengan kekuatan diluar islam untuk mengadu domba kaum Muslimin.” Dan pada hal.(23) dia mengatakan: “Saya katakan, apakah ada indikasi gerakan ini merupakan bagian dari gerakan zionis? Gerakan diluar islam? Jika Iya lantas bentuknya seperti apa? ini baru indikasi, saya belum bisa memastikannya”. Dan pada halaman yang sama dia juga berkata: “Makanya, saya menduga gerakan ini merupakan bagian dari operasi intelijen.”


Apakah ini akhlak Kyai (pertama) di Al-Irsyad? Menuduh tanpa bukti, berkata tanpa ilmu dan berdusta tanpa takut dosa serta adzab. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun…. Semoga Allah memberi adzab kepada para pendusta umat ini.


Tidakkah pak Kyai ingat firman Allah -سبحانه و تعالى- :








“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa”. (QS.al-Hujurat:12)


Dan sabda Nabi -صلى الله عليه و سلم- :








“Hati-hatilah kalian dari berprasangka (buruk), karena prasangka tersebut adalah sedusta-dustanya ucapan”. (HR.Bukhari dan Muslim).


Dan beliau -صلى الله عليه و سلم- juga bersabda :








“Tidaklah manusia ditelungkupkan wajahnya di dalam api neraka melainkan karena ucapan lisannya”. (HR.Tirmidzi)


Pak Kyai pada hal.(24) berkata: “Apalagi, dari pengamatan kami, gerakan mereka terselubung, doktrin yang ditanamkan pada jamaah sangat tertutup dan ekslusif”.


Saya tidak habis pikir, bagaimana sistem pengamatan pak Kyai? Majalah kita tersebar dimana-mana, ma’had-ma’had Dakwah Salafiyah berdiri di banyak daerah, demikian pula dengan majlis ilmu kita, pintu kita selalu terbuka bagi orang yang masih punya hati tuk melihat.


Allah -سبحانه و تعالى- berfirman :








“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada”. (QS.al-Hajj:46)


” Kebenaran itu bak mentari dan mata-mata ini memandangnya,

Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta “


Pak Kyai berkata hal.(24): “Jadi, kepada sesama Muslim saja mereka ekstrim, bagaimana mereka berurusan dengan orang yang bukan islam. Akan lebih “garang” lagi. Inilah yang bisa menimbulkan terorisme.”


Insya Allah setiap orang yang mengenal Dakwah Salafiyah tahu bahwa Dakwah Salafiyah sangat anti dengan terorisme. Alhamdulillah, beberapa kali majalah kita adz-Dzakhiirah memuat makalah tentang bantahan kepada terorisme.4) Dan -insya Allah- pada edisi-edisi mendatang kita juga akan menjelaskan tentang gembong teroris pada abad ini.


Pak Kyai berkata hal.(25): “Disini,saya melihat, hilangya faktor keikhlasan dalam berdakwah, karena ada unsur kepentingan yakni kepentinga kelompok (hizbiyah). Karenanya, Al-Irsyad Al-Islamiyah paling terkena dampaknya, karena mereka menyerang ideologis”


Apa pak Kyai tahu hal ghaib ?!

Apa pak Kyai punya ilmu kasyf ?!

Apa pak Kyai tahu hati manusia ?!


Justru yang perlu dipertanyakan adalah tentang keikhlasan pak Kyai, karena dari dulu yang dibicarakan tidak keluar dari dana bantuan luar negeri.


Apa karena bapak nggak dapat jatah, hingga membabi buta?!

Sungguh ironis dan menyedihkan…


Kemudian siapakah yang hizbiyah?! Pak Kyai ataukah Salafi?! Dari dulu pak Kyai selalu mengedepankan Al-Irsyad, ber-wala’ dan ber-baro’ karena Al-Irsyad (seperti dalam hal.21,25,32). inilah yang sebetulnya dikatakan hizbiyah (fanatik golongan), mengapa anda tidak sadar?!


Siapa yang mengklaim dirinya paling benar?!


Sabili sebagai fans berat kelompok Ikhwanul Muslimin lupa atau pura-pura lupa atau bodoh atau pura-pura bodoh bahwa sesepuh merekalah para penyeru fanatik golongan yang mengklaim pemahamannya paling benar, mau bukti? Inilah buktinya :


[a]. Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin) berkata: “Sesungguhnya yang aku maksud dengan pemahaman disini adalah engkau meyakini bahwa pemikiran-pemikiran kita adalah islam yang benar dan engkau harus memahami islam ini sesuai dengan apa yang kami pahami…” (Majmu’atu Rasaail al-Imam asy-Syahiid hal.363)


[b]. Sa’id Hawa dalam kitabnya Fi Aafaaqi at-Ta’aaliim (hal.29) berkata : “Rumah tangga muslim yang sempurna adalah yang berpegang teguh dengan mabaadi’ (ajaran-ajaran) al-Ikhwanul Muslimun, karena itulah kesempurnaan islam kontemporer. Oleh karenanya, al-Ustadz al-Banna menjadikan kewajiban seorang pergerakan adalah mewajibkan rumah tangga dengan mabaadi’ al-Ikhwanul Muslimun.”


[c]. Sa’id Hawa juga berkata: “Sesungguhnya jama’ah al-Ikhwan (al-Muslimun) itulah yang selayaknya seorang muslim meletakkan tangannya diatas tangan al-Ikhwan”. (al-Madkhal ila Jama’atil Ikhwan al-muslimin hal.29-30)


[d]. Dia juga berkata: “oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ketinggalan dari dakwah ini.” (Fi Aafaaqi at-Ta’aaliim 16)


[e]. Dia juga berkata: “Jika keadaan jama’ah (al-Ikhwan al-muslimun) seperti ini, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk keluar darinya…” (Min Ajli Khuthwatin ila al-Imam hal.40)


[f]. Dia juga berkata : “Tidak ada di hadapan kaum muslimin kecuali pemikiran ustadz al-Banna jika mereka ingin jalan yang benar”. (Fil Aafaaqit Ta’aaliim hal.5 oleh Said Hawa)


Sabili di hal.(27) berkata: “Tapi ketika Salafi menjadi identitas suatu kelompok, mereka menebar fitnah, menyerang sesama muslim seputar fiqih”. Dan pada hal.(29) Sabili berkata: “Salafi yang merasa dirinya paling benar, sering menuduh tanpa bukti, bedusta atas nama para ulama dan sebagainya”


Sabili memang jago memutar balikkan fakta. Insya Allah orang yang berakal sehat dan didalam hatinya ada cahaya kebenaran dan ketaqwaan pasti tahu siapa yang menyebar fitnah, sering menuduh tanpa bukti dan berdusta. Apa yang telah kami tulis di atas -insya Allah- sebagai bukti bahwa sabili adalah pendusta penebar fitnah. Demikian pula yang akan disebut dibawah ini.


Apakah ketika kita membongkar kedok Hasan al-Banna yang tenggelam dalam kesufiannya itu masalah fiqih?! Ketika Dakwah Salafiyah menunjukkan hakikat Sayyid Quthb yang mencela para sahabat bahkan mencela seorang Nabi dan seabrek kesesatanyya itu dikatakan masalah fiqih? Jangan kalian membuat fitnah (provokator).


Sabili mengatakan hal.(30) : “Tak hanya itu, Hasan al-Banna kerap disebut sebagai pelaku bid’ah yang berakhir di neraka. Sayyid Quthb disebut pembawa ajaran sesat.”


Adapun Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb, maka memang kita yakini sebagai pelaku kebid’ahan dan pembawa kesesatan karena bukti-buktinya sangat amat kuat. Tidak percaya?! Lihat adz-Dzakhiirah edisi 21 dan 24, Semoga Allah membuka mata hati anda. Masak orang yang membawa setumpuk ajaran sesat kita katakan benar, apakah ini keadilan?!


Akan tetapi ucapan Sabili “…yang akan berakhir di neraka”, coba darimana kalian dapatkan, coba buktikan kalau kalian memang tidak berdusta?! Diantara prinsip Dakwah Salafiyah adalah tidak memvonis manusia dengan surga atau neraka atau syahid bagi individu tertentu kecuali kalau ada dalil khusus tentangnya.


Sabili mengatakan hal.50 dan 51: “Kelompok Salafi ini juga saling menyesatkan bahkan tak sungkan saling mengkafirkan satu sama lain…. Bahkan yang paling ekstrem, mereka tak sungkan berani mengkafirkan sesama muslim dalam soal yang dinilai umat islam yang lain sebagai hal yang bukan prinsip…”


Wahai Sabili, jika engkau bukan pendusta ulung, sebutkan kepada kami bukti tentang pengkafiran salafi seperti yang engkau sebut ini ?! Salafi adalah orang yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan seorang muslim bukan seperti Sayyid Quthb CS yang mengobral murah vonis kafir kepada kaum muslimin.(5)


Adapun celotehan kalian untuk menyudutkan Dakwah Salafiyah dikarenakan banyak manusia yang menolak Dakwah Salafiyah maka ini adalah hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Karena memang Dakwah Salafiyah adalag ghuraba’ (asing), sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- :








“Islam datang dalam keadaan terasing dan akan kembali dalam keadaan keterasingan seperti awal mulanya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR.Muslim)


Dan suara mayoritas manusia bukanlah hujjah dalam islam. Allah berfirman :








“Dan jika kamu menuruti kebanyak orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS.al-An’aam:116)




Demikianlah yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan sebagai obat penawar bagi yang terkena virus syubhat majalah Sabili dan semoga sebagai penguat bagi mereka yang berada diatas manhaj Salafi.


***

@1431 Copyright adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah STAI ALI BIN ABI THALIB Surabaya

_____________


1. Lihat majalah adz-Dzakhiirah juz 1 Muharram 1342H/1921 m Oleh Syaikh Ahmad Surkati yang telah kami terjemahkan dalam adz-Dzakhiirah kita edisi 14 tahun 3 Rabiuts Tsani 1426H/Juni 2005M

2. Lihat kitab al-Hatstsu ‘Alaa ittiba’ as-Sunnah hal.17-19 oleh Syaikh ‘Abdul muhsin al-’Abbad -حفظه الله-

3. Abu Hamid al-Ghozali — berkata: “Dengannya -yakni jenggot- dapat dibedakan antara laki-laki dan wanita.” (Ihya’ Ulum ad-Din,2/257)

4. Lihat adz-Dzakhiirah edisi 6,11,17, dan 56.

5. Lihat adz-Dzakhiirah edisi 24 tentang kesesatan Sayyid Quthb.




Sumber: http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=273702548864&id=169766884780


Selengkapnya...

Rabu, 27 Januari 2010

Akhi…Pahami Hatimu


Hubungan hati dengan organ-organ tubuh lainnya, laksana raja yang bertahta diatas singgasana yang dikelilingi para punggawanya. Seluruh anggota punggawa bergerak atas perintahnya. Dengan kata lain, bahwa hati itu adalah pengendali dan sekaligus sebagai pemberi komando terdepan yang setiap anggota tubuh berada di bawah kekuasaannya. Di hati inilah anggota badan lainnya mengambil keteladanannya, baik dalam ketaatan atau penyimpangan. Organ-organ tubuh lainnya selalu mengikuti dan patuh dalam setiap keputusan.

Nabi saw bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi bila daging itu rusak maka rusak pula tubuh manusia. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.”[HR. Bukhari-Muslim].

Pengelompokan Hati Manusia

Hati manusia terbagi menjadi tiga klasifikasi: Qalbun Shahih (hati yang suci), Qalbun Mayyit (hati yang mati), dan Qalbun Maridl (hati yang sakit).


Pertama, Qalbun Shahih

yaitu hati yang sehat dan bersih (hati yang sehat) dari setiap nafsu yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya. Sehingga ia selamat dari pengabdian kepada selain Allah, dan mencari penyelesaian hukum pada selain rasul-Nya. Karenanya, hati ini murni pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik pengabdian secara iradat (kehendak), mahabbah (cinta), tawakkal (berserah diri), takut atas siksa-Nya dan mengharapkan karunia-Nya. Bahkan seluruh aktivitasnya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Jika mencintai maka cintanya itu karena Allah, dan jika membenci maka kebenciannya itupun karena Allah, jika memberi atau bersedekah, hal itu karena-Nya dan jika tidak memberi, juga karena Allah. Dan tidak hanya itu saja, tapi diiringi dengan kepatuhan hati dan bertahkim kepada syari’at-Nya. ia mempunyai landasan yang kuat dan prinsip tersendiri dalam menjadikan Muhammad saw sebagai suri tauladan dalam segala hal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[QS. Al-Hujurat:1].

Ciri-ciri Qalbun Shahih
1. Apabila hati pergi meninggalkan dunia menuju dan berdomisili di alam akhirat, sehingga seakan ia termasuk penduduknya. Ia datang ke dunia fana ini bagaikan seorang asing yang kebetulan singgah sebentar sebelum meneruskan perjalanan menuju alam akhirat. Sebagaimana telah diwasiatkan Nabi saw kepada Abdullah bin Umar : “Jadikanlah dirimu di dunia ini seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang menyeberangi suatu jalan.” [HR. Bukhari].
2. Jika ia tertinggal wirid, atau sesuatu bentuk peribatan lainnya, maka ia merasakan sakit yang tiada terperi ,melebihi sakitnya orang yang tamak dan kikir saat kehilangan barang kesayangannya.
3. Ia senantiasa rindu untuk dapat mengabdikan diri di jalan Allah, melebihi keinginan orang yang lapar kepada makanan dan minuman. Yahya bin Mu’adz berkata: “Barangsiapa yang merasa berkhidmat kepada Allah, maka segala sesuatupun akan senang berkhidmat kepadanya, dan barang siapa tentram dan puas dengan Allah maka orang lain tentram pula ketika melihat dirinya.
4. Apabila tujuan hidupnya hanya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. Bila sedang melakukan sholat, maka sirnalah semua kegundahannya dan kesusahan kaena urusan dunia. Sebab di dalam sholat telah ia temukan kenikmatan dan kesejukan jiwa yang suci.
6. Sangat menghargai waktu dan tidak menyia-nyiakanya, melebihi rasa kekhawatiran orang bakhil dalam menjaga hartanya.
7. Tidak pernah terputus dan futur (malas) untuk mengingat Allah Idan berdzikir kepada-Nya.
8. Lebih mengutamakan pada pencapaian kualitas dari suatu amal perbuatan daripada kuantitas. ia lebih condong pada keikhlasan dalam beramal, mengikuti petunjuk syari’at rasulullah saw di samping ia selalu merenungi segala bentuk karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan mengakui tentang kelalaian dan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua, Qalbun Mayyit


Qalbun Mayyit (hati yang mati) adalah kebalikan dari hati yang sehat, hati yang mati tidak pernah mengenal Tuhannya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. dan ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginan hawa nafsunya, walaupun hal ini menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala marah dan murka akan perbuatannya. Ia tidak peduli lagi apakah Allah ridha atau murka terhadap apa yang dikerjakannya, sebab ia memang telah mengabdi kepada selain Allah. Jika mencintai didasarkan atas hawa nafsu, begitu pula dengan membenci, memberi. Hawa nafsu lebih didewa-dewakan daripada rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hati jenis ini adalah hati yang jika diseru kepada jalan Allah, maka seruan itu tidaklah berfaedah sedikitpun, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup hati mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ” Dan diantara mereka ada orang yang mendengar (bacaanmu), padahal kami telah meletakkan tutup di atas hati mereka sehingga mereka tidak memahaminya) dan kami letakkan sumbatan di telinganya dan jikalaupun mereka melihat segala tanda kebenaran mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu‘.”[QS. Al-An'am:25].

Ayat ini menunjukkan, bahwa ada manusia yang tidak mempergunakan hatinya untuk memahami ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak mempergunakan telinganya untuk mendengar perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga tidak mau melihat kebenaran yang telah disampaikan. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “(Mereka berkata:) Hati kami tertutup dari ajakan yang kamu serukan kepada kami, dalam telinga kami ada sumbatan, dan diantara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja pula.”[QS. Fushilat:5].

Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membiarkan mereka dalam kegelapan dan mereka sedikitpun tidak akan mendapatkan cahaya iman. “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka. Dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat, mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidaklah kembali kepada jalan yang benar.” [Al-Baqarah:17-18].

Ketiga, Qalbun Maridl

Qalbun Maridl (hati yang sakit) adalah hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit berupa kejahilan. Hati yang sedang di cekam sakit akan mudah menjadi parah apabila tidak diobati dengan hikmah dan maud’izah. Seperti difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan setan, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya.”[QS. Al-Hajj:53].

Karena sesungguhnya apa yang disisipkan oleh setan kedalam hati manusia itu, akan membuat sesuatu menjadi syubhat (sesuatu yang meragukan), seperti penyakit ragu dan sesat. Begitu hati menjadi lemah karena penyakit yang diidap, maka setanpun mudah merasuk kedalam hati lalu menghidupkan fitnah dalam hati tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafiq, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di madinah (dari menyakitimu) niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka. Kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.”[Al-Ahzab:60].

Namun demikian hati orang-orang yang seperti itu belumlah mati sebagaimana hati orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, akan tetapi bukan pula hati sehat, seperti sehatnya hati orang-orang yang beriman. Sebab di dalam hati mereka terdapat penyakit syubhat dan syahwat. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya.“[QS. Al-Ahzab:32].

Ciri-ciri Qalbun Maridl
Boleh jadi hati manusia sedang sakit , bahkan tanpa disadari. Lebih tragis bahwa hatinya sebenarnya mati, namun si empunya tidak menyadari.

Tanda-tanda spesifik hati yang sedang sakit atau mati adalah jika ia tidak merasa sakit dan pedih oleh goresan-goresan pisau kemaksiatan, Hal itu disebabkan karena hatinya telah rancu dan teracuni, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara nilai kebenaran dan aqidahnya yang batil. Hal ini seperti ditafsirkan oleh Mujahid dan Qatadah tentang firman Allah yang berbunyi: “Fi Qulubihim Maradhun“[QS.Al-Baqarah:10]. artinya: “Dalam hati mereka terdapat penyakit.” “Ayat ini menunjukkan adanya keraguan yang tumbuh dalam hati manusia tentang kebenaran.” Bahkan ia melihat kebenaran bagai sesuatu yang sangat bertentangan dengan kehendaknya. Kebenaran itu dilihat dari sisi lain yang terasa merugikan dirinya. sehingga dalam kondisi seperti ini ia lebih menyukai kebatilan dan kemudharatan.


Faktor-faktor penyebab sakitnya hati
Penyebab timbulnya penyakit di hati adalah dikarenakan banyaknya fitnah yang selalu dibidikkan pada hati. Fitnah-fitnah tersebut dapat berupa: fitnah syahwat, dimana reaksinya amat keras sampai dapat merancukan niat dan iradat (kehendak) seseorang. Dan yang lain adalah fitnah syubhat (keragu-raguan) yang menyebabkan kacaunya persepsi dan i’tiqad (keyakinan).

Racun Hati

Setiap kemaksiatan adalah racun dan yang merupakan penyakit dan perusak kesucian hati. Dan racun-racun hati yang paling banyak ditemukan dan reaksinya cukup keras bagi kelangsungan hidup hati ada empat macam yaitu:
1. Berlebihan dalam berbicara

Banyak berbicara adalah salah satu faktor yang menyebabkan hati menjadi keras, sebagaimana sabda rasulullah saw :”Janganlah memperbanyak kata (bicara) selain dzikrullah, karena banyak bicara selain dzikrullah menjadikan hati keras. Dan orang yang terjauh dari Allah adalah yang berhati keras.”[HR. Tirmidzi dari Ibnu Umar]. kemudian juga dengan banyak berbicara terkadang membuat seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya, sehingga melahirkan kerugian dan penyesalan. Umar bin Kahttab ra pernah berkata: “Barang siapa yang banyak bicaranya, maka banyak kesalahannya, sehingga nerakalah sebaik-baik tempat bagi mereka.” Hal ini ditegas juga dalam sebuah hadits , bahwa rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan ia tergelincir kedalam neraka lebih jauh antara timur dan barat.” [muttafaq 'alaihi, dari Abu Hurairah t]
2. Berlebihan dalam memandang sesuatu
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada setiap mukmin dan mukminah untuk menundukkan pandangannya yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati mereka. Dan juga mereka akan merasakan manisnya iman, sebagaimana sabda rasulullah saw : “Barangsiapa yang menahan pandangannya karena Allah, maka dia akan diberikan oleh Allah rasa manisnya iman yang ia rasakan dalam hatinya, sampai dimana ia manghadap kepada-Nya.” [HR. Ahmad]. Sekarang bagaimana jika perintah itu dilanggar, maka jelas akan menyebabkan fitnah bagi hati pelakunya. yaitu, rusaknya kesucian hati itu sendiri oleh angan-angan dan keindahan semu yang dibisikkan setan, lupa terhadap hal yang menjadi kemaslahatan. Lalu ia berbuat melampaui batas sehingga hilanglah akal sehatnya dan menyebabkan ia menjadi pengabdi hawa nafsu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:”Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.”[QS. Al-Kahfi:28].

3. Berlebihan dalam makan
Sedikit makan dapat melunakkan hati, menajamkan otak, merendahkan nafsu birahi dan melemahkan nafsu amarah. Sedangkan bila banyak makan, bahkan sampai kekenyangan akan berakibat sebaliknya.

Dari Miqdam bin Ma’di Karib dia berkata, bahwa ia mendengar rasulullah saw bersabda: “Anak adam tidak memenuhi wadah yang lebih buruk, daripada ia memenuhi perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap saja untuk menguatkan tulang rusuknya. Jika memang tidak memungkinkan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk nafasnya.”[HR. Ahmad dan Tirmidzi].

Alangkah banyak kemaksiatan yang tersulut akibat makan yang berlebihan dan menghalangi ketaatan manusia kepada Sang Khalik. Karenanya siapa yang mampu menjaga perutnya dari sifat serakah, maka ia benar-benar membuktikan bahwa dirinya mampu menjaga diri dari keburukan yang lebih fatal lagi.

Ibrahim bin Adham berkata:”Barangsiapa mampu mengendalikan perutnya, maka ia mampu pula mengendalikan agamanya, dan barang siapa yang mampu menguasai rasa lapar (tidak makan berlebihan) maka ia dapat menguasai akhlak-akhlak yang baik, sebab maksiat kepada Allah itu jauh dari orang-orang yang lapar (yang mampu syahwat perutnya).”

4. Berlebihan dalam bergaul
Betapa tragis suatu pergaulan yang dapat merampas kenikmatan yang telah ada, karenanya timbul benih-benih permusuhan dan kebencian yang terpendam sehingga menyesakkan rongga-rongga dada. Namun rasa itu sulit dihindari terutama oleh hati yang sudah terluka. Demikian juga berlebih-lebihan dalam pergaulan dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Seyogyanya bagi seorang hamba dapat mengambil hikmah dari setiap pergaulan. usahakanlah untuk bersikap bijak dan dapat menempatkan diri dalam menghadapi berbagai karakter teman sepergaulan. Dimana karakter-karakter tersebut ada empat golongan:

- Terhadap orang yang jika kita membutuhkan bergaul dengannya, laksana kebutuhan kita terhadap makanan, kita tidak dapat lepas darinya dalam sehari semalam. Mereka itu adalah Para Ulama yang memiliki cakrawala pengetahuan yang luas tentang ilmu Agama, mengetaui tipu daya setan dan segala macam bentuk penyakit hati.

- Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya seperti kebutuhan kita akan obat, Kita mengharapkannya dikala kita sedang sakit saja, tetapi bila badan kembali sehat maka mereka tidak kita butuhkan lagi. mereka ini adalah dari orang yang kehadirannya kita nantikan berkaitan dengan masalah kemaslahatan hidup dan kehidupan, seperti untuk saling bekerjasama atau sebagai mitra kerja dalam berniaga, bertani, bermusyawarah dan masalah-masalah lain dalam hal muamalah.

- Terhadap orang yang jika kita bergaul dengannya, tidak ubahnya seperti penyakit. Golongan ini terbagi menjadi beberapa jenis dan tingkatan, bergantung pada intesitasnya terhadap jiwa kita. Diantara mereka adalah yang bersifat individualis dan egoistis. Jika bergaul dengannya hendaklah kita waspada dan berlaku bijak dalam menghadapinya. Hal ini bukan berarti kita harus menghindar dan tidak mau bergaul dengannya, tetapi jagalah jangan sampai diri kita terbawa oleh pengaruh kepribadiannya, karena akan merugikan kita dalam hal agama dan dunia. oleh karena itu sebaiknya orang-orang yang masuk dalam tipe ini hendaklah dujauhi jika ingin selamat agama dan dunia kita.

- Terhadap orang yang bila kita bergaul dengannya akan membawa kefatalan, sebab ia laksana ular berbisa. Andaikan kita sampai terkena patuknya, kemudian kita berhasil menemukan penawarnya maka selamatlah kita, tetapi jika tidak, inilah bencana bagi kita. Golongan ini banyak berkeliaran di sekitar kita. Mereka adalah Ahli bid’ah yang sesat dan menyesatkan, menyimpang dari sunnah rasulullah saw. Mereka pandai membolak-balikkan fakta, sunnah mereka jadikan bid’ah dan bid’ah mereka jadikan sunnah. Bagi orang yang berakal tidak layak untuk bergaul ataupun duduk-duduk bersama mereka. Jika itu tetap dilakukan maka akan sakitlah hati bahkan bisa menyebabkan hatinya menjadi mati.

Kiat Menjadikan Hati Tetap Hidup


Ketahuilah, bahwa hati yang hidup (hati yang sehat) hanya akan diperoleh dengan ilmu dan ikhtiar (usaha). Adapun usaha tersebut yang bisa dilakukan untuk menjadikan hati tetap hidup adalah:

1. Dzikrullah dan Tilawatil Qur’an.
Dengan senantiasa dzikrullah (menyebut dan mengingat Allah) bagi seorang hamba manfaatnya sangatlah besar. Sebagaimana Dia berfirman: “Ingatlah, bahwa hanya dengan selalu mengingat Allah, hati menjadi tentram.”[QS. Ar-Ra'du:28]. Al-Imam Syamsuddin Ibnul Qoyyim berkata: “Sesungguhnya dzikir adalah makanan pokok bagi hati dan ruh, apabila hamba Allah gersang dari siraman dzikir, maka jadilah ia bagaikan tubuh yang terhalang untuk memperoleh makanan pokoknya.”Dan Imam Hasan Al-Bashri berkata:”Lunakkanlah hatimu itu dengan berdzikir”.

Kendatipun dzikrullah adalah salah satu bentuk ibadah yang termudah dan ringan, akan tetapi pahala dan keutamaan yang didapatkan melebihi amalan-amalan lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya mengingat-ingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat yang lain).”[Qs. Al-Ankabut:45].

Sebaik-baik dzikir adalah membaca Al-Qur’an, karena Al-Qur’an mengandung berbagai khasiat penyembuh hati dari semua penyakit kegundahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman; “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”[QS. Yunus:57].

2. Beristighfar
Hakikat istighfar adalah untuk memohon maghfirah (ampunan), dan batasan maghfirah adalah penjagaan dari keburukan yang diakibatkan dari dosa-dosa. Dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Nya selama memenuhi syaratnya pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ampunan. Firman-Nya: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia meminta ampun kepada Allah niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[QS. An-Nisa':110].

Hendaklah seseorang itu memperbanyak istighfar kepada-Nya dimanapun berada, sebab seseorang itu tidak tahu dimana tempat maghfirah Tuhannya turun. sebagaimana rasulullah saw bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku selalu mohon ampunan kepada Allah sehari semalam lebih dari tuju puluh kali.” [HR. Bukhari].

‘Aisyah � berkata: “Beruntunglah orang yang mendapat dalam buku catatan amal perbuatannya memuat istighfar yang banyak.” Qatadah berkata:”Sesunggunhya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepadamu tentang penyakitmu dan obat penangkalnya. Adapun penyakitmu adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istighfar.”

3. Do’a
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku niscaya Aku perkenankan bagimu. “[QS. Al-mukmin:60].

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita agar berdo’a kepada-Nya dan Dia akan memenuhi permohonan hamba-Nya. berkenaan dengan ini rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang Muslim pun berdo’a dengan do’a yang di dalamnya tidak berisi dosa dan pemutus tali silaturahmi melainkan Allah memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: Allah akan menyegerakan permohonannya itu (diperoleh di dunia) atau Allah akan menyimpannya untuknya di akhirat kelak, atau Dia memalingkan darinya keburukan yang setimpal dengan do’anya itu.”[HR. Ahmad, hadits shahih]. Dalam ayat yang sama Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:” Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (tidak mau berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan terhina.”[QS. Al-mukmin:60]. Orang-orang yang tidak mau berdo’a kepada-Nya maka mereka yang dikatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah termasuk orang yang sombong, dan mereka mendapatkan murka dari-Nya. sebagaimana rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang tidak mau meminta (memohon kepada Allah), maka Allah murka terhadap-Nya.” [HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah].

4. Bershalawat kepada Nabi saw
Allah Subhanahu wa Ta’ala bershalawat (menyebut dan memuji di hadapan para malaikat) sepuluh kali, bagi orang bershalawat kepada rasul-Nya (sekali). Sebagaimana sabda beliau saw : “Barang siapa yang bershalawat untukku satu kali. Maka Allah akan bershalawat sepuluh kali lipat.”[HR. Muslim]. Karena yang demikian itu, setiap satu kebaikan nilainya akan dilipat gandakan sepuluh kalinya, dan bershalawat untuk Nabi saw termasuk kebaikan yang tinggi.

5. Qiyamullail
Jika seseorang tetap melakukan shalat malam, maka wajahnya akan bercahaya dan dia juga akan merasakan kenikmatan beribadah dalam hatinya, sebagaimana yang dituturkan oleh para Ulama Salaf berikut ini:

Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang sering beribadat di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan bagi mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa malam aku tak suka hidup di dunia ini.”

Ibnul Mukandir: “Bagiku kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, qiyamullail, bersilaturahmi dengan ikhwan dan shalat berjama’ah.”

Maroji’:
Tazkiyatun Nufus oleh Dr. Ahmad Farid

Amraadlul Qulub wa Sifaauha oleh Ibnu Thaimiyah
Selengkapnya...

Selasa, 26 Januari 2010

Antara Cinta Rasul & Perayaan Maulid

Sebenarnya adakah kaitan antara cinta Rasul dan perayaan maulid, alias hari kelahiran beliau? Pertanyaan ini mungkin terdengar aneh bagi mereka yang kerap merayakannya. Bagaimana tidak, sedang disana dibacakan sejarah hidup beliau, diiringi dengan syair-syair pujian dalam bahasa Arab untuk beliau (yang dikenal dengan nama burdah), yang kesemuanya tak lain demi mengenang jasa beliau dan memupuk cinta kita kepadanya…?

Dalam sebuah muktamar negara-negara Islam sedunia, salah seorang dai kondang dari Saudi yang bernama Dr. Said bin Misfir Al Qahthani, berjumpa dengan seorang tokoh Islam (syaikh) dari negara tetangga. Melihat pakaiannya yang khas ala Saudi, Syaikh tadi memulai pembicaraan (Sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh Dr. Said Al Qahthani ketika berkunjung ke kampus kami, Universitas Islam Madinah dan memberikan ceramah di sana.):

Syaikh: “Assalaamu ‘alaikum…”
Dr. Said: “Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabaraatuh…”
Syaikh: “Nampaknya Anda dari Saudi ya?”
Dr. Said: “Ya, benar.”
Syaikh: “Oo, kalau begitu Anda termasuk mereka yang tidak cinta kepada Rasul…!”
(kaget bukan kepalang dengan ucapan Syaikh ini, ia berusaha menahan emosinya sembari bertanya):

Dr. Said: “Lho, mengapa bisa demikian?”
Syaikh: “Ya, sebab seluruh negara di dunia merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali negara Anda; Saudi Arabia… ini bukti bahwa kalian orang-orang Saudi tidak mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dr. Said: “Demi Allah… tidak ada satu hal pun yang menghalangi kami dari merayakan maulid Beliau, kecuali karena kecintaan kami kepadanya!”
Syaikh: “Bagaimana bisa begitu??”
Dr. Said: “Anda bersedia diajak diskusi…?”
Syaikh: “Ya, silakan saja..”
Dr. Said: “Menurut Anda, perayaan Maulid merupakan ibadah ataukah maksiat?”
Syaikh: “Ibadah tentunya!” (dengan nada yakin).
Dr. Said: “Baik… apakah ibadah ini diketahui oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah tidak?”
Syaikh: “Tentu beliau tahu akan hal ini!”
Dr. Said: “Jika beliau tahu akan hal ini, lantas beliau sembunyikan ataukah beliau ajarkan kepada umatnya?”
(…. Sejenak syaikh ini terdiam. Ia sadar bahwa jika ia mengatakan “ya”, maka pertanyaan berikutnya ialah: Mana dalilnya? Namun ia juga tidak mungkin mengatakan tidak, sebab konsekuensinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyembunyikan sebagian ajaran Islam. Akhirnya dengan terpaksa ia menjawab )
Syaikh: “Iya… beliau ajarkan kepada umatnya…”
Dr. Said: “Bisakah Anda mendatangkan dalil atas hal ini?”
(Syaikh pun terdiam seribu bahasa… ia tahu bahwa tidak ada satu dalil pun yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini…)
Syaikh: “Maaf, tidak bisa…”
Dr. Said: “Kalau begitu ia bukan ibadah, tapi maksiat.”
Syaikh: “Oo tidak, ia bukan ibadah dan bukan juga maksiat, tapi bidáh hasanah.”
Dr. Said: “Bagaimana Anda bisa menyebutnya sebagai bid’ah hasanah, padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat??”

Setelah berdialog cukup lama, akhirnya syaikh tadi mengakui bahwa sikap sahabatnyalah yang benar, dan bahwa maulid Nabi yang selama ini dirayakan memang tidak berdasar kepada dalil yang shahih sama sekali.

Ini merupakan sepenggal dialog yang menggambarkan apa yang ada di benak sebagian kaum muslimin terhadap sikap sebagian kalangan yang enggan merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialog singkat di atas tentunya tidak mewakili sikap seluruh kaum muslimin terhadap mereka yang tidak mau ikut maulidan. Kami yakin bahwa di sana masih ada orang-orang yang berpikiran terbuka dan obyektif, yang siap diajak berdiskusi untuk mencapai kebenaran sesungguhnya tentang hal ini.

Namun demikian, ada juga kalangan yang bersikap sebaliknya. Menutup mata, telinga, dan fikiran mereka untuk mendengar argumentasi pihak lain. Karenanya kartu truf terakhir mereka ialah memvonis pihak lain sebagai ‘wahhabi’ yang selalu dicitrakan sebagai ’sekte Islam sempalan’, yang konon diisukan sebagai kelompok yang gampang membid’ahkan, mengkafirkan, mengingkari karomah para wali, dan sederet tuduhan lainnya.

Cara seperti ini bukanlah hal baru. Sejak dahulu pun mereka yang tidak senang kepada dakwah tauhid, selalu berusaha memberikan gelar-gelar buruk kepada para dainya. Tujuannya tak lain ialah agar masyarakat awam antipati terhadap mereka. Simaklah bagaimana Fir’aun dan kaumnya menggelari Musa dan Harun ‘alaihimassalam:

(57) Fir’aun mengatakan: “Adakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihirmu hai Musa? (58) Sungguh kami pasti mendatangkan pula kepadamu sihir semacam itu, maka buatlah suatu waktu untuk pertemuan antara kami dan kamu, yang kami tidak akan menyalahinya dan tidak pula kamu di suatu tempat yang pertengahan (letaknya).” (59) Musa menjawab: “Waktu pertemuan itu ialah di hari raya dan hendaklah manusia dikumpulkan pada waktu dhuha.” (60) Maka Fir’aun meninggalkan (tempat itu), lalu mengatur tipu dayanya, kemudian dia datang. (61) Musa berkata kepada mereka: “Celakalah kamu, janganlah kamu mengadakan kedustaan terhadap Allah, hingga Dia membinasakanmu dengan siksa.” Dan sesungguhnya telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan. (62) Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka, dan mereka merahasiakan percakapan (mereka). (63) Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya, dan hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama…” (Qs. Thaha: 57 – 63)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, (24) kepada Fir’aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: “Ia (Musa) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.” (Qs. Ghafir: 23-24)

Simak pula bagaimana kaum Nabi Luth ‘alaihissalam hendak mengusir beliau dan para pengikutnya dengan tuduhan ‘orang-orang yang sok menyucikan diri’:

Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.” (Qs. An Naml: 56)

Atau Nabi Shalih ‘alaihissalam yang dianggap sombong dan pembohong oleh kaumnya… Allah berfirman:

(23) Kaum Tsamudpun telah mendustakan ancaman-ancaman (itu). (24) Mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti saja seorang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya kalau begitu kita benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila”, (25) Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya -yakni Nabi Shaleh ‘alaihissalam- di antara kita? Sebenarnya dia seorang yang amat pendusta lagi sombong.” (26) Kelak mereka akan tahu siapakah yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong. (Qs. Al Qamar: 23 – 26)

Sampai junjungan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak luput dari julukan-julukan buruk kaumnya. Allah berfirman:

(1) Shaad, demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan (2) Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. (3) Betapa banyaknya ummat sebelum mereka yang telah kami binasakan, lau mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. (4) Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” (Qs. Shaad: 1 – 4)

Jadi, banyaknya tuduhan-tuduhan jelek terhadap suatu golongan, mestinya tidak menghalangi kita untuk bersikap adil dan obyektif terhadap mereka. Karena boleh jadi kebenaran justeru berpihak kepada mereka, dan dalam hal ini yang menjadi patokan adalah dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits yang shahih.

Berangkat dari sini, penulis ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk mendudukkan masalah perayaan maulid Nabi, benarkah ia merupakan bid’ah hasanah? Benarkah ia merupakan perwujudan cinta kepada Rasul yang dibenarkan? Apakah asal muasal perayaan ini? dan berbagai masalah lainnya seputar maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya semua akan disajikan secara ilmiah dengan merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan pemahaman As Salafus shaleh.

***

Penulis: Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan, Lc. (Mahasiswa Pasca Sarjana, Fakultas Hadits & Dirosah Islamiyyah, Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia)
Artikel www.muslim.or.id

Selengkapnya...

Senin, 25 Januari 2010

Jangan Ejek Saudaramu

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS al Hujurat:11).
Terkait dengan ayat ada dua catatan kaki yang ada dalam terjemah DEPAG RI yaitu:

1. Jangan mencela dirimu sendiri, maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

2. Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti hai fasik, hai kafir dan sebagainya.

Ahmad ash Shawi al Maliki mengatakan, “Makna ayat adalah janganlah seorang itu mengolok-olok yang lain karena boleh jadi pihak yang diolok-olok itu lebih agung dan mulia dibandingkan pihak yang mengolok-olok. Ringkasnya tidaklah pantas muslim mengolok-olok saudaranya seagama bahkan semua makhluk ciptaan Allah. Boleh jadi yang diolok-olok itu lebih hatinya lebih ikhlas dan lebih bertakwa dibandingkan yang mengolok-olok. Para salaf shalih sangat luar biasa dalam melaksanakan kandungan ayat ini. Ada salah seorang salaf yang mengatakan, ‘Jika aku melihat seorang yang menetek pada anak kambing lalu aku mentertawakannya tentu aku merasa khawatir andai aku melakukan apa yang dia lakukan’.

Abdullah bin Mas’ud mengatakan, ‘Bencana itu terjadi gara-gara ucapan lisan. Andai aku mengolok-olok seekor anjing tentu aku khawatir kalau aku diubah menjadi seekor anjing’ (Hasyiyah ash Showi ‘ala Tafsir al Jalalain 4/143, terbitan Dar al Fikr).

Syeikh Abdurrahman as Sa’di mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang sebagian hak seorang mukmin dengan mukmin yang lain. Yaitu janganlah sekelompok orang mengejek sekelompok yang lain baik dengan kata-kata ataupun perbuatan yang mengandung makna merendahkan saudara sesama muslim. Perbuatan ini terlarang dan hukumnya haram. Perbuatan ini menunjukkan bahwa orang yang mengejek itu merasa kagum dengan dirinya sendiri. Padahal boleh jadi pihak yang diejek itu malah lebih baik dari pada pihak yang mengejek. Bahkan inilah realita yang sering terjadi. Mengejek hanyalah dilakukan oleh orang yang hatinya penuh dengan akhlak yang tercela dan hina serta kosong dari akhlak mulia. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seorang itu dinilai jahat jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim” (HR Muslim dari Abu Hurairah)” [Taisir al Karim al Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan hal 953, terbitan Dar Ibnul Jauzi].

Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Jika telah diketahui bahwa manusia itu bertingkat-tingkat. Di antaranya manusia itu bertingkat-tingkat dalam masalah ilmu. Sebagian orang itu lebih berilmu daripada yang lain dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu alat yang sangat membantu untuk mengusai ilmu agama semisal ilmu-ilmu tentang bahasa Arab sebagaimana nahwu, balaghah dan yang lainnya.

Manusia itu juga bertingkat-tingkat dalam masalah rizki. Ada yang diberi rezki yang melimpah. Ada pula yang diberi rezki pas-pasan.

Manusia juga bertingkat-tingkat dalam akhlak. Ada yang memiliki akhlak luhur dan mulia, ada pula yang tidak demikian.

Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah bentuk fisik. Ada yang fisiknya sempurna, ada juga yang tidak.

Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah status sosial. Ada yang status sosialnya tinggi, ada pula yang biasa-biasa saja.

Apakah seseorang diperbolehkan untuk mengejek orang yang lebih rendah dalam berbagai hal di atas?
Jawabannya adalah firman Allah di atas.

Allah memanggil kita dengan nama iman agar sebagian dari kita tidak mengejek sebagian yang lain. Yang melebihkan sebagian orang atas yang lainnya adalah Allah. Sehingga konsekuensi dari mengejek orang yang lebih rendah adalah mengejek takdir Allah.
Hal ini diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ ».

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu karena Allahlah yang mengatur berjalannya waktu” (HR Muslim no 6003).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ».

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Manusia menyakitiku. Manusia mencaci waktu padahal aku adalah pengatur waktu. Akulah yang memperjalankan malam dan siang” (HR Bukhari no 4549 dan Muslim no 6000).

Mengapa kita ejek orang yang lebih rendah dibandingkan kita dalam masalah ilmu agama, harta, akhlak, kondisi fisik, status sosial, dan nasab? Bukankah di samping Allahlah yang memberikan anugrah kepada kita, Dia juga yang menakdirkannya untuk berada di bawah kita, dalam pandangan kita, dalam banyak hal?

Mengapa Allah melarang kita mengejek orang lain?

Jawabannya adalah betapa banyak orang yang pada saat ini mengejek orang lain, dalam lain kesempatan menjadi bahan ejekan. Betapa banyak orang yang saat ini pada posisi ‘berada’, esok hari berada pada posisi orang papa. Ini adalah suatu hal yang bisa kita saksikan dalam realita.

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ ». قَالَ أَحْمَدُ مِنْ ذَنْبٍ قَدْ تَابَ مِنْهُ.

Dari Muadz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang mencela saudaranya sesama muslim karena sebab dosa yang pernah dia lakukan maka orang yang mencela tersebut tidak akan mati sampai melakukannya”. [*]

Ahmad bin Mani’, salah seorang perawi hadits, “Yang dimasudkan adalah dosa yang pelakunya telah bertaubat darinya” (HR Tirmidzi no 2505 namun dinilai oleh al Albani sebagai hadits palsu).

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ ».

Dari Watsilah bin al Asqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau menampakkan rasa gembira saat saudaramu sesama muslim menderita kesusahan. Hal itu menjadi sebab Allah menyayanginya dan menimpakan cobaan pada dirimu” (HR Tirmidzi no 2506. Hadits ini dinilai hasan gharib oleh Tirmidzi namun dinilai lemah oleh al Albani).

Adalah kewajiban setiap orang untuk mempraktekkan adab yang telah Allah ajarkan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 37-38, terbitan Dar Tsuraya).

[*] Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (3/277) mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Ash Shoghoni dalam Mawdhu’at-nya (45) mengatakan bahwa hadits ini mawdhu’. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (245) mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Al Hasan bin Abi Yazid dan ia perowi matruk. [editor, MAT]

Selengkapnya...

Jumat, 22 Januari 2010

Doa Doa Saat Hujan


1. DOA APABILA ADA ANGIN RIBUT

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan angin ini, dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya.”*1

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan angin (ribut ini), kebaikan apa yang di dalamnya dan kebaikan tujuan angin dihembuskan. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan angin ini, kejahatan apa yang di dalamnya dan kejahatan tujuan angin dihembuskan.” *2

2.DOA UNTUK MINTA HUJAN


اَللَّهُمَّ أَسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا، نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ، عَاجِلاً غَيْرَ آجِلٍ.

"Ya Allah! Berilah kami hujan yang merata, menyegarkan tubuh dan menyuburkan tanaman, bermanfaat, tidak membahayakan. Kami mohon hujan secepatnya, tidak ditunda-tunda.”*3

اَللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اَللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اَللَّهُمَّ أَغِثْنَا.

"Ya Allah! Berilah kami hujan. Ya Allah, turunkan hujan pada kami. Ya Allah! Hujanilah kami,”*4

اَللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ، وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ، وَأَحْيِي بَلَدَكَ الْمَيِّتَ.


“Ya Allah! Berilah hujan kepada hamba-hambaMu, ternak-ternakMu, berilah rahmatMu dengan merata, dan suburkan tanahMu yang tandus.”*5


3.DOA APABILA HUJAN TURUN

اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا.


“Ya Allah! Turunkanlah hujan yang bermanfaat (untuk manusia, tanaman dan binatang).”*6

4. BACAAN SETELAH HUJAN TURUN

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ.


“Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah.”*6


5.DOA AGAR HUJAN BERHENTI

اَللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ عَلَى اْلآكَامِ وَالظِّرَابِ، وَبُطُوْنِ اْلأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ.


“Ya Allah! Hujanilah di sekitar kami, jangan kepada kami. Ya, Allah! Berilah hujan ke daratan tinggi, beberapa anak bukit perut lembah dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan.” *7

8.DOA KETIKA ADA HALILINTAR

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ.


“Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya.”*8

---------------------------------------------------------------------------------
[1] HR. Abu Dawud 4/326, Ibnu Majah 2/1228, dan lihatlah kitab Shahih Ibnu Majah 2/305.
[2] HR. Muslim 2/616 dan Al-Bukhari 4/76.
[3] HR. Abu Dawud 1/303, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/216.
[4] HR. Al-Bukhari 1/224 dan Muslim 2/613.
[5] HR. Abu Dawud 1/305 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/218.
[6] HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 2/518.
[7] HR. Al-Bukhari 1/205, Muslim 1/83.
[8] HR. Al-Bukhari 1/224 dan Muslim 2/614.
Selengkapnya...

ADAB MENUNUT ILMU


Oleh : Majid bin Su’ud Alu ‘Usyin

Penerjemah Fuad Hamzah, Lc



Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dan dalam menuntut ilmu itu ada beberapa ada yang harus diperhatikan, berikut di antaranya.



BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU

Mengikhlaskan niat karena Allah ta’âlâ.
Berdoa kepada Allah ta’âlâ supaya mendapatkan taufiq dalam menuntut ilmu.
Bersemangat (antusias) untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu.
Berusaha semaksimal mungkin untuk menghadiri kajian-kajian ilmu.
Apabila ada seseorang yang datang belakangan di tempat kajian hendaknya tidak mengucapkan salam apabila dapat memotong pelajaran yang berjalan, kecuali kalau tidak mengganggu maka mengucapkan salam itu sunnah. (Pendapat Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah:, jilid 1, hlm. 170)
Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya barakah ilmu. Allah ta’âlâ mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya dalam firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. ash-Shaf: 2-3)

Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Tidaklah aku menulis satu hadits pun dari Nabi n, kecuali telah aku amalkan, sampai ada hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam kemudian memberikan Abu Thaybah satu dinar,[1] maka aku pun memberi tukang bekam satu dinar tatkala aku dibekam.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 14)

Merasa sedih tatkala ada masyayikh yang sezaman tapi tidak sempat bertemu, serta mencontoh adab dan akhlak mereka.
al-Khalal meriwayatkan akhlak Imam Ahmad rahimahullahu dari Ibrahim, ia berkata: “Apabila mereka mendatangi seseorang yang akan mereka ambil ilmunya, mereka memperhatikan shalat, kehormatan dan gerak-gerik serta tingkah lakunya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya.

Dan dari al-A’masy rahimahullahu berkata, “Orang dahulu belajar kepada ahli fikih tentang semua hal termasuk pakaian dan sandalnya. (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 145)

Sopan santun dalam menuntut ilmu.
Kontinyu (konsisten) untuk hadir dan tidak malas.
10. Tidak berputus asa dan mencela diri (merendahkan diri). Hendaknya ingat firman Allah ta’âlâ:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl: 78)

Terlebih apabila kesulitan dalam mempelajari sesuatu.

11. Membaca kitab-kitab yang berkaitan dengan thalabul ilmi dan mempelajari metode yang benar dalam menuntut ilmu, serta berusaha mengetahui kekurangan dan kesalahan yang ada pada dirinya.

12. Antusias untuk hadir lebih awal dan mempergunakan waktu dengan baik.

13. Berusaha melengkapi pelajaran yang terlewatkan.

14. Mencatat faedah pada halaman depan atau buku catatan.

15. Berusaha keras untuk mengulang-ulang faedah yang telah didapatkan.

16. Tatkala membeli buku hendaknya diperhatikan terlebih dahulu.

17. Tidak melemparkan kitab ke tanah.

Ada seseorang yang melakukan itu di hadapan Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau marah seraya mengatakan, “Beginikah kamu memperlakukan ucapan orang-orang baik?” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 389)

18. Tidak memotong perkataan guru sampai beliau menyelesaikannya.

Imam al-Bukhari berkata: Bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan dia sibuk berbicara, maka selesaikan dulu permbicaraannya. Kemudian beliau membawakan hadits:

أَنَّ أَعْرَابِياًّ قَالَ وَالنَّبِيُّ يَخْطُبُ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى الرَّسُوْلُ فِي حَدِيْثِهِ وَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْثَهُ قَالَ: أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟

Ada seorang Arab Badui bertanya kapan hari kiamat tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan khutbahnya dan berpaling dari orang itu, tatkala Nabi menyelesaikan khutbahnya, kemudian bertanya: “Dimana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat.” (al-Fath, jilid 1, hlm. 171)

19. Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)

20. Sopan tatkala mengajukan pertanyaan kepada guru, tidak menanyakan sesuatu yang dibuat-buat atau berlebihan atau menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya dengan tujuan supaya gurunya tidak mampu menjawab dan menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya, atau menanyakan sesuatu yang belum terjadi, dimana salafush shalih mencela hal seperti ini apabila pertanyaan itu dibuat-buat. (Tahdzib at-Tahdzib, jilid 8, hlm. 274, as-Siyar, jilid 1, hlm. 398)

21. Membaca biografi para ulama.

22. Membaca topik dan tema yang berbeda sebelum tiba waktunya. Seperti Ramadhan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, sepuluh awal dzulhijah dan kurban.

23. Antusias untuk membeli kitab-kitab yang khusus membahas permasalahan-permasalahan fikih. Seperti kitab yang berkaitan dengan sunnah-sunnah Rawatib atau qiyamullail, dll.

24. Memprioritaskan hal-hal yang utama dalam menuntut ilmu.

25. Memulai dengan yang lebih penting.

Sebagaimana petunjuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memulai yang lebih penting yang beliau lakukan dengan tujuan itu. Oleh karena itu tatkala ‘Utban bin Malik memanggil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seraya berkata kepada beliau, “Aku ingin Anda datang untuk shalat di rumahku, supaya aku jadikan tempat itu menjadi mushalla”, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar beserta beberapa orang sahabatnya.

Tatkala sampai di rumah ‘Utban, mereka meminta izin untuk masuk, kemudian mereka masuk, dan ‘Utban telah membuatkan makanan untuk mereka, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak makan terlebih dahulu, bahkan berkata: “Dimana tempat yang ingin kamu jadikan mushalla itu?” kemudian diperlihatkan kepada beliau, kemudian beliau shalat, setelah itu baru duduk untuk menyantap hidangan. (HR. al-Bukhari, no. 425 & 667, Muslim, no. 263 dan disebutkan juga oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarh Riyadhu ash-Shalihin, jilid 3, hlm. 98)

26. Tidak sok pintar.

27. Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala menyebut-Nya.

28. Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala menyebutnya.

29. Mengucapkan radhiyallahu ‘anhum (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ) kepada para sahabat tatkala menyebut mereka.

30. Mengucapkan rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ) kepada para ulama tatkala menyebut mereka.

31. Tidak menyandarkan sesuatu kepada maraji’ apapun kecuali apabila kita membaca berita itu darinya.

32. Tidak menyandarkan hadits kepada selain Imam al-Bukhari dan Imam Muslim apabila hadits itu ada pada keduanya atau salah satu dari keduanya.

33. Berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menyalin.

34. Menyandarkan faedah kepada yang empunya.

35. Tidak meremehkan faedah walaupun sedikit.

36. Tidak menyembunyikan faedah.

37. Tidak mempergunakan dalil hadits dhaif atau maudhu’.

38. Tidak mendhaifkan hadits, kecuali setelah meneliti an menanyakan kepada ahlinya.

39. Tidak mengacuhkan permasalahan-permasalahan yang ditanyakan kepada dirinya, karena itu dapat mendorong anda untuk meneliti dan menggali lebih dalam masalah itu.

40. Membawa buku catatan kecil untuk mencatat faedah-faedah dan berbagai macam permasalahan.

41. Tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah.

42. Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak manuskrip atau satu buku yang berbeda penerbitnya, terkecuali ada faedahnya.

43. Mengunjungi perpustakaan-perpustakaan untuk menelaah kitab-kitab yang ada.

44. Menghindari keumuman istilah ilmiah yang mirip lafazhnya.[2]

45. Antusias untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan istilah-istilah penulis atau menjelaskan metode kitab dan bahasan-bahasannya.

46. Tidak terburu-buru dalam memahami ucapan, baik yang tertulis atau yang terdengar. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dari Ayub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Apabila ia mengulangi soal itu sama seperti awal, maka ia jawab, kalau tidak maka beliau pun tidak menjawabnya.” (I’lam al-Muwaqi’in 2/187)

47. Banyak membaca kitab-kitab tentang fatwa-fatwa.

48. Tidak terburu-buru untuk menafikan secara umum.

49. Apabila anda meriwayatkan hadits secara makna hendaknya anda jelaskan hal itu.

50. Hindari penggunaan lafadz-lafadz pengagungan untuk memuji diri sendiri.

51. Terimalah kritikan dan nasihat dengan lapang dada bukan karena basa basi.

52. Tidak sedih dan patah semangat karena sedikitnya orang yang belajar darinya. Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi Atha’ bin Abi Rabah bahwasanya dia, tidak ada yang duduk bersamanya (dalam menuntut ilmu –pent) kecuali sembilan atau delapan orang saja. (Siyar A’lam an-Nubala` 8/107)

53. Tidak menghabiskan waktu untuk membahas perkara-perkara yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil lagi aneh, seperti warna anjng Ashabul Kahfi, pohon yang Nabi Adam p memakan buah darinya, dan panjang kapal Nabi Nuh p, dll.

54. Tidak terpancing untuk keluar jauh dari fokus pembahasan.

55. Tidak berlebih-lebihan dalam merangkai kata-kata dan menjelaskan ucapan serta tidak mempergunakan ibarat dan istilah yang asing.

56. Tidak berbicara tanpa ilmu, dan tidak merasa kesal jika pertanyaannya tidak dijawab.

57. Tidak terpengaruh dengan celaan pribadi apabila agamamu selamat, dan ingatlah ucapan penyair:

وَإِنْ بُلِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَقَ لَهُ فَكُنْ كَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ وَلَمْ يَقُلْ

Apabila engkau diuji dengan orang yang tidak baik

Maka bersikaplah seolah-olah engkau tidak mendengarnya dan dia tidak berkata

58. Tidak berputus asa.

59. Semangat dalam menjalankan shalat malam.

60. Tidak banyak bicara, istirahat dan tidur dalam menuntut ilmu.

61. Secara khusus thalibul ilmi dan secara umum seorang muslim:

Memenuhi kebutuhan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
اِشْفَعُوْا تُؤْجَرُوْا.

Berilah syafaat niscaya kalian dapat pahala. (HR. al-Bukhari)

Menepati janji. Allah memuji para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya etntang Nabi Ismail p:
â ¼çm¯RÎ) tb%x. s-ÏŠ$|¹ ωôãuqø9$# á

Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam: 54)

Bijaksana, sabar dan lemah lembut. Allah ta’âlâ berfirman:
Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raf: 199)

As-Sam’ani rahimahullahu menyebutkan dalam kitab al-Ansab, adz-Dzahabi dalam kitab Tajrid ash-Shahabah, tentang biografi Auf bin Nu’man, berkata: Di masa jahiliyah dahulu dia lebih senang untuk mati dalam kondisi kehausan dari pada mati dalam kondisi ingkar janji, sebagaimana disebutkan:

إِذَا قُلْتَ فِي شَيْءٍ نَعَمْ فَأَتِمَّهُ فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلَى الْحُرِّ وَاجِبُ

وَإِلاَّ فَقُلْ لاَ وَاسْتَرِحْ وَأَرِحْ بِهَا لِئَلاَّ يَقُوْلَ النَّاسُ: إِنَّكَ كَاذِبُ

Apabila anda telah mengatakan ‘ya’ maka laksanakanlah

Karena ucapan ‘ya’ adalah hutang yang harus di lunasi

Kalau tidak mampu katakanlah ‘tidak’ dan istirahatlah

Supaya orang lain tidak mengatakan anda pendusta

Tawadhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.

Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bertawadhu’, supaya tidak ada yang membanggakan dan menyombongkan diri. (HR. Muslim)

Gembira, lapang dada, dan mau mendengarkan problema orang lain.
Mengajak bicara dan memberi nasihat kepada manusia.
‘Ikrimah rahimahullahu mengatakan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : “Nasihati manusia satu jum’at sekali, jikalau mau maka dua kali, jika mau maka tiga kali, jangan bikin mereka bosan dengan al-Qur`an dan jangan mendatangi mereka tatkala sedang dalam urusannya dan kau sela pembicaraannya, sehingga mereka merasa jemu, akan tetapi diamlah, jikalau mereka meminta, maka nasihati karena mereka menginginkannya dan hindari olehmu sajak dalam berdoa, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. (HR. al-Bukhari, no. 6337)

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata:
حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ.

“Ajaklah bicara manusia dengan apa yang mereka ketahui.”

Disitu ada dalil, seyogyanya sesuatu yang tidak jelas tidak di sampaikan ke khalayak ramai, dan hendaknya berkata sesuai dengan apa yang dipahami orang lain, juga ucapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau ajak bicara satu kaum yang tidak dapat dipahami oleh mereka karena tu dapat menimbulkan fitnah.” (HR. Muslim)




--------------------------------------------------------------------------------
[1] Muttafaq ‘alaih.

[2] Seperti muttafaqun ‘alaih yang populer riwayat al-Bukhari & Muslim tapi muttafaqun alaih dalam kitab Muntaqa al-Akhbar karya Majiduddin Ibnu Taimiyah rah artinya riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.

Selengkapnya...

Rabu, 20 Januari 2010

105-ribu-orang-hadiri-tabligh-akbar-bersama-ulama-madinah

JAKARTA–Sebanyak 105 ribu orang menghadiri acara Tabligh Akbar Bersama Ulama Madinah Syaikh Prof. Dr. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr. Ketua Panitia Tabligh Akbar Bersama Ulama Madinah, Abu Abdurrahman Sapta mengatakan, tabligh akbar tersebut merupakan tabligh akbar yang terbanyak yang dihadiri jamaah. “Sebab pada tabligh akbar yang pernah diselenggarakan sebelumnya yakni pada tahun 2004 dan 2006 hanya dihadiri sekitar 35 ribu orang. Sehingga saat ini merupakan tabligh akbar terbesar,” katanya di Masjid Istiqlal Jakarta, Ahad ( 17/1).
Jumlah jamaah yang melonjak tiga kali lipat, kata Sapta, disebabkan masyarakat sudah familiar dengan Syaikh Rozzaq karena beliau sering mengisi acara ceramah di Radio Rodja 756 am yang isinya seputar dakwah Islam, kedalaman ilmu beliau sebagai Guru Besar Jurusan Aqidah di Universitas Islam Madinah,

dan isi ceramahnya yang sesuai dengan kehidupan saat ini.
Tema yang dalam tabligh akbar ini, terang Sapta, adalah sebab-sebab datangnya kebahagian. “Tema tersebut sangat cocok dengan kondisi dan kehidupan masyarakat. Kita lihat masyarakat masih bingung mencari hakikat kebahagian.Mereka juga mempunyai orientasi kehidupan duniawi. Padahal semakin dunia dikejar yang datang adalah kegelisahan. Orang-orang banyak yang merasa tidak tentram, takut kematian, hubungan dengan keluarga tidak harmonis. Selain itu masyarakat juga banyak mengalami musibah seperti musibah ketidaktrentaman dan masyarakat tidak harmonis,” terangnya.
Masyarakat, ujar Sapta, juga banyak yang salah dalam melihat kebahagiaan. ” Mereka mencari kebahagiaan dengan mencari harta sebanyak mungkin. Sehingga banyak timbul berbagai masalah, seperti korupsi atau mencari harta hingga lupa diri dan melalaikan anak-anaknya yang perlu mendapatkan bimbingan. Sehingga anak-anak banyak yang kurang terarah hidupnya karena kurang perhatian,” ujarnya.
Tujuan dari tabligh akbar ini, kata Sapta, memberikan pemahaman kepada masyarakat se-Jabodetabek tentang paradigma yang benar mengenai kebahagiaan. “Kebahagiaan sebenarnya tidak hanya diukur dengan pencapaian material. Namun pencapaian spiritual itulah yang penting. Dengan demikian harta akan mengikuti karena sebenarnya harta itu mengikuti ibadah dan semua yang memberikan itu adalah Allah SWT. Jika orang ingin bahagia maka harus mempelajari Al Qur,an dan Hadist,” katanya.
Dengan acara tabligh akbar ini, terang Sapta, diharapkan umat Muslim semakin bersatu. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa Nabi pernah bersabda akan terjadi banyak perpecahan pada akhir zaman.”Namun Nabi selalu mengingatkan solusi dari masalah itu adalah kembali kepada Sunnah Rasul. Semua petunjuk sudah ada dalam Al Qur,an dan Hadist. Namun harus dipahami dengan pemahaman yang betul,” terangnya.
Dalam acara ini, ujar Sapta, secara kuantitatif tidak ada target. “Kami hanya berusaha menyampaikan hal yang baik kepada khalayak. Namun rupanya dengan tampilnya Syaikh Rozzaq, ulama yang disegani di dunia, bahkan beliau ulama yang mendapat gelar profesor paling muda, ayahnya juga ulama yang disegani, ternyata jamaah yang datang melebihi perkiraan yang semula hanya 35 ribu orang,” ujarnya.
Rupanya acara tabligh akbar dicintai masyarakat, kata Sapta, sehingga pihaknya berencana mengadakan acara tersebut setahun sekali dengan mendatangkan para ulama dari Timur Tengah. “Kami merasa perlu memberikan contoh kepada masyarakat dengan apa yang disebut ulama. Sebab masyarakat kita sangat mudah menganggap seseorang itu ulama. Padahal orang yang mereka sebut ulama tersebut kehidupannya sering tidak sesuai nilai-nilai Islam. Dan Syaikh Rozzaq merupakan contoh ulama yang pas karena beliau tawaduk, cinta ibadah, shalat malam hampir tak pernah ketinggalan,menghormati orangtuanya,” katanya.
Di tempat yang sama, Kepala Humas Panitia Acara Tabligh Akbar Bersama Ulama Madinah, Achmad Rizal menambahkan, dengan adanya tabligh akbar tersebut, masyarakat diharapkan menjadi lebih dekat dengan ulama mereka untuk bertanya mengenai hal-hal yang menyangkut masalah dunia dan akhirat. “Sebab ulama merupakan para pewaris ilmu Nabi dan dengan imu orang bisa mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat,” katanya.
Kesulitan yang dialami dalam acara ini, ujar Rizal, adalah masalah fasilitas. “Sebab orang yang hadir banyak sekali. Sehingga terjadi banyak antrian parkir, antrian toilet, dan sounds sistem yang kurang memadai. Semoga hal ini menjadi catatan positif bagi pihak pengelola Masjid Istiqlal supaya melakukan sejumlah perbaikan yang dianggap perlu. Semoga kami juga bisa melakukan kerja sama yang lebih baik lagi,” ujarnya.
Semoga, kata Rizal, dengan acara ini umat Muslim bisa terdorong untuk mencapai kemajuan yang tentu harus diraih dengan ilmu dan diiringi dengan amaliah soleh sesuai petunjuk Nabi. “Jangan sampai berilmu dan beramal tidak sesuai petunjuk Nabi. Selain itu, kita harus yakin kemajuan akan tercapai seperti pada masa Khulafaur Rasyidin di mana Islam mencapai kekuasaan hingga mencapai timur dan barat.
Kita harus menimba ilmu dari ulama-ulama yang mempunyai pemahaman benar sesuai dengan pemahaman para sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in , tiga generasi awal Islam yang harus dicontoh. Dengan pemahaman yang sama umat muslim tidak akan terpecah-pecah,” katanya.

sumber: http://www.republika.co.id/berita/101323/105_ribu_orang_hadiri_tabligh_akbar_bersama_ulama_madinah
Download Kajiannya di: “Sebab-Sebab Datangnya Kebahagiaan – Syaikh Prof. Dr. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin al-Badr Hafizhahullah”
Selengkapnya...